Perjalanan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Ke UIN
Sunan Ampel Surabaya dilakukan pada Hari Kamis, Jam 05.00 WIB berangkat dari
rumah ke Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, dan jam 06.00 Pesawat Maskapai Wings
berangkat dari Bandara Internasional Adi Sucipto Yogyakarta. Sampai di Bandara
Internasional Surabaya jam 07.00 WIB. Dari bandara Djuanda Surabaya, kemudian
saya bertemu dengan Rombongan Ibu Yani dari Banjarmasin, Ibu Anila dari
Semarang dan Pak Maftuh dari Samarinda, serta rombongan PakAep, Dudi, Gandi
dari SGD Bandung. Kemudian kita menuju UINSA bersama mobil Elf jemputan mereka.
Dan menuju gedung Theatrikal untuk langsung mengikuti “Seminar Nasional BKI
Menyongsong Peradaban Global”.
Tepat jam 09.00 acara dimulai, dengan penampilan dari
beberapa performance mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Penampian pertama
adalah nasyid solawat yang dilantunkan oleh Kasekprodi UINSA Surabaya. Kemudian
dilanjutkan oleh penampilan musik nasyid akustik oleh para mahasiswa UINSA.
Kemudian acara dibuka oleh Rektor UINSA dan sambutan oleh Dekan Fakultas Dakwah
dan Komunikasi UINSA Surabaya. Dengan diawali oleh lagu Indonesia Raya dan
Hymne UINSA dengan iringan musik Angklung dari para mahasiswa UINSA, serta
performa lainnya dari mereka. Dan duet qori yang indah dengan lantunan kalam
Illahi yang syahdu.
Selanjutnya acara inti “Seminar Nasional BKI Menyongsong
Peradaban Global”.dimulai Keempat narasumber yang telah disiapkan oleh Prodi
BKI UINSA, dipanel dengan duduk berempat di
atas panggung. Para narasumber bergantian menyampaikan materinya, yang
secara umum materi yang disampaikan oleh keempat narasumber tersebut, adalah
dasar dari FGD pada acara selanjutnya.
Narasumber kedua adalah Bapak Dr. Anwar Sutoyo dari UNES (Universitas Negeri Semarang), beliau menyampaikan konsep Bimbingan
dan Konseling Islam yang berlandaskan Al-quran dan Al-Hadits sebagai dasar
dalam menentukan arah keprofesian Bimbingan dan Konseling Islam. Bahwa
sesungguhnya, seluruh arah pembicaraan terkait keilmuan Bimbingan dan Konseling
Islam itu harus mengacu pada Bimbingan dan Konseling Islam yang ada dalam
Al-Quran dan Al-hadits.
Pembicara
ketiga adalah Dr. Adi Atmoko, M.Pd. Dosen Universitas Negeri Malang. Beliau
sebagai salah satu pengurus ABKIN, menyampaikan rambu-rambu dari sebuah
asosiasi, yang tepat bagi Bimbingan dan Konseling Islam. Sehingga dalam
menetapkan arah serta pola dan bagaimana implementasi dari sebuah asosiasi agar
menjadi tumbuh dan besar. Harus mengikuti standar keilmuan dan keprofesian yang
dicanangkan dan ditetapkan dalam ADARTnya. Bahkan beliau menyatakan
kesanggupannya untuk menjadi Pembina dan pendamping bagi berdirinya asosiasi
ini.
Selanjutnya
narasumber terakhir adalah Prof. Dr. Nurhidayah, M.Pd. beliau adalah dosen dari
Universitas Negeri Malang, menyampaikan tentang kurikulum Bimbingan dan
Konseling serta pengembangan kompetensi dosen dan keprofesian yang harus
disusun berdasarkan semangat dan visi dari KKNI. Sehingga kurikulum yang
kembangkan juga tidak lepas dari persetujuan asosiasi yang menaunginya dan hal
ini harus dilakukan agar bisa menyeragamkan di seluruh Indonesia.
Setelah
keempat narasumber tersebut menyampaikan pokok-pokok materinya, yang kurang
lebih 20 menit masing-masing pembicara. Kemudian dilanjutkan Tanya jawab. Ada
sekitar delapan pertanyaan yang dilontarkan peserta, dan semuanya dijawab oleh
narasumber, sehingga acara seminar ini berlangsung sangat meriah, karena
sebenarnya masih banyak pertanyaan yang belum terlontar, tetapi waktu sudah
tidak memungkinkan. Pada jam-15.00 akhirnya seminar ditutup. Kemudian kita para
undangan dari 23 PTKIN Prodi BPI dan BKI serta 5 dari PTKAIS seluruh Indonesia,
menuju ke Hotel GreenSA, untuk istirahat.
Pada
malamnya sejak jam 19.00 dimulailah FGD (Focus Group Discussion), terkait
dengan pendirian Asosiasi Bimbingan dan Konseling. FGD berlangsung sangat aktif
dan semua peserta seakan-akan ingin menyampaikan berbagai uneg-unegnya agar
segera diputuskan pembentukan asosiasi profesi ini. FGD yang dipimpin oleh
panitia, serta formatur asosiasi dari UINSA dan UIN SGD Bandung ini berlangsung
hingga malam hari yakni sampai jam 23.00. Aku yang duduk di deretan depan udah
berkali-kali mengacungkan diri tetapi belum juga dapet kesempatan. Karena
hampir semuanya antusias untuk bicara. Akhirnya ketika kesempatan ada, aku
katakan bahwa pertama, terkait perdebatan nama apakah BKI atau BPI selamanya
tidak akan selesai kalau masih kekeh dengan argumennya masing-masing. Ini
adalah perdebatan yang sudah lama sekali. Sejak di Makasar tahun 2012, kemudian
di Semarang 2013, dan Bandung 2014 serta Surabaya 2015, belum dapat memutuskan
nama yang tepat bagi asosiasi kita. Yang jelas penyatuan BKPI menurut saya, dan
Jogja telah mempelajarinya sejak di Semarang. Dan nama ini kita anggap representatif
mewakili dari kedua belah pihak (BPI dan BKI). Ayolah, segera kita sepakati. Jangan lagi
berkeluh kesah persoalan kurikulum, gelar, nama prodi dan persoalan-persoalan
bidang keilmuan dan kompetensi serta lulusan. Kedua, sesungguhnya permasalahan
yang kita hadapi tersebut, akan terselesaikan jika kita memiliki asosiasi yang
kuat dan diakui oleh semua level dan
masyarakat luas. Kenapa. Karena kalau ada
legitimasi dari sebuah asosiasi, maka suara kita akan didengar oleh pemangku
kebijakan, berbeda dengan suara personal. Sudah berapa kali kita menghasilkan
rekomendasi setiap pertemuan forum prodi. Sudah tiga kali, seingat saya
merekomendasi berbagai hal ke Kementrian, tetapi nyatanya sampai detik ini tidak
pernah berhasil. Berbeda jika kita merekomendasikan melalui asosiasi kita yang
legitimate. Maka saya yakin dapat melakukan perubahan dalam banyak hal. Oleh
sebab itu, marilah kita segera menetapkan nama asosiasi ini. Bagi Jogja tidak
masalah apapun namanya, yang jelas harus segera diputuskan. Toh dalam
perjalanan nanti ada perkembangan baru, saya rasa tidak masalah kita berubah
lagi. Yang jelas ini harus kita tetapkan, dan Jogja sepakat dengan nama Aspro
BKPI. Karena agenda kita dalam dua hari ini masih banyak. Jangan sampai kita
pulang dari forum ini kembali nihil. Begitulah kurang lebih yang saya katakan
pada akhir FGD pertama menjelang tengah malam itu. pernyataan saya langsung
direspon Prof Yahya dari Imam Bonjol. Beliau mengatakan bahwa nama itu penting.
Kalau kita pake BKPI itu memunculkan dualisme keilmuan yang tidak akan
menyelesaikan masalah. Jadi nama bukan tidak berarti. Kita harus tegaskan
memilih BKI.
Berhubung sudah larut, dan masih banyak suara-suara yang
seakan belum puas. Maka kemudian moderator utama Kaprodi BKI UINSA Surabaya P.
Agus menimpulkan bahwa malam ini kita putuskan bahwa nama asosiasi kita adalah
Aspro BKPI. Sudah kita lanjukan agenda selanjutnya besok pagi. Begitu, waaah
keputusan itu, sangat tidak memuaskan bagi kubu Imam Bonjol Padang dan UIN
SUSKA Riau.mereka masih protes dan mengacungkan tangan untuk berargumen. Sedang
yang sepakat juga menyatakan ekspresi kegembiraannya. Tetapi karena sudah
menjelang tengah malam. Akhirnya sesi FGD pertama, kita anggap belum
menghasilkan apapun. Karena nama yang diputuskan diambil dari formatur awal di
Bandung yakni Aspro BKPI belum seratus prosen disepakati oleh semua hadirin.
Sebelum menuju kamar, saya masih berhenti di teras
beranda hotel untuk santai sejenak. Tiba-tiba pak Zul dari Riau, langsung
bersemangat menyampaikan argumennya. “Bahwa kita itu harus tegas menentukan bahwa nama kita adalah BKI, karena dengan nama ini
diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan, sehingga mengamankan posisi BKI tetap
di Dakwah bukan berganti BPI atau BKI malah pindah ke Tarbiyah”. Saya bilang, “looh khan rekomendasi para Dekan di jakarta pasca munculnya PMA 33 sudah jelas. Bahwa BKI dan BPI tetap di Dakwah dengan gelar S.Sos. itu berarti bagi Prodi yang selama ini nyaman dengan BKInya tetap bisa pakai BKI, begitupun dengan
yang BPI. Sedangkan bagi Tarbiyah jika ingin buka BKI maka namanya BKPI
(Bimbingan dan Konselig Pendidikan Islam) begitu khan”. “Iyya, tetapi sampai kini khan belum keluar SK-nya, dikhawatirkan takut munculya SK itu tidak sesuai dengan harapan kita. Begitu P. Zul bersemangat. Nah kalau
sampai BKI tidak di Dakwah, wah bisa bencana pak, karena kita tahu nilai jual
dan kebutuhan masyarakat terhadap BKI sangat tinggi. Maka dari itu besok sampaian harus membuka kembali pembicaraan tetang nama ini. Bagi saya
tidak masalah siapapun yang terpilih jadi ketua dan pengurus. Tetapi
harapannya, harus bisa menjadi Asosiasi BKI saja tanpa P. Walaupun di dalamnya
kita tetap memayungi BPI”, begitulah argumen pak Zul. Dan terus terang
dalam hatiku pada saat itu, masih tetap lebih condong ke Aspro BKPI. Pak Zul
berulang kali memintaku untuk membuka kembali pembahasan nama ini pada sesi FGD
kedua.
Pada
pagi harinya, jam enam pagi menuruni lift
berniat ke ruang makan untuk sarapan. Tetapi ternyata di sana belum ada
apapun. Akhirnya di kaki terus melangkah ke luar hotel menuju warung samping
hotel dan bertemu dengan rekan dari PTAIS Al Azhar Jakarta. Kita sama-sama ke
warung dan memesan kopi. Di situ dia curhat kalau sebenarnya nama asosiasi ini
seharusnya BKI saja. Karena kekawatirannya jika masih menggunakan BPI akan
menghambat dan memperkeruh berbagai persoalan yang selama ini dihadapi.
Kususnya terkait bidang rumpun keilmuan. Setelah berbicara dan ngobrol panjang
lebar, hingga kopi habis, akhirnya kita kembali ke hotel bermaksud makan pagi.
Sampai di beranda saya duduk sebentar, dan di situ ada pak Aep dan Pak Dudi.
Maka kemudian saya ngobrol terkait banyaknya keluhan dari para hadirin kalau
nama asosiasi kita masih BKPI. Dan saya coba sampaikan alasan-alasan logis
seperti yang disampaikan oleh beberapa orang sebelumnya yang datang ke saya.
Kemudian pak aep menjawab secara normatif. Bahwa kita tidak bisa mengabaikan
teman-teman BPI, mereka sudah capek-capek datang ke sini eeh ternyata namanya
tidak terwakili. Saya coba menyampaikan begini. Sebenarnya yang hadir pada saat
ini adalah 3 perwakilan BPI. Pertama, Jakarta, sudah menyatakan bahwa dirinya sudah punya asosiasi profesi
penyuluh dan telah merintis undang-undang untuk profesi penyuluh tersebut, sehingga keberadaannya di asosiasi ini tidak setergantung yang lain atau kurang
terlalu berdampak. Yang kedua dari Semarang, walaupun di sana BPI, tetapi rasa BKInya
sangat kental di kurikulumnya, sehingga bisa diprediksi tidak akan keberatan.
Nah yang paling berat adalah dari Banjarmasin. Karena Kaprodi BPI di sana
selalu hadir di forum-forum sebelumnya, dan masalahnya di sana ingin berganti
menjadi BKI, tetapi tidak bisa, karena di Tarbiah Antasari sudah buka BKI.
Naaah, kalau kita bisa memahamkan mereka, syukur memaklumi perkembangan yang
terjadi, saya rasa tidak masalah. Begitulah diskusi kita berlangsung, di situ
juga ada p. Dudi dan dua orang lainnya. Tetapi intinya P. Aep masih lebih
sepakat Aspro BKPI. Dia menyampaikan penjelasan Dr. Sutoyo yang masih setia
mendampingi kita sampai dua hari ke depan. Beliau bercerita bahwa dulu pada
waktu pembentukan ABKIN pun sama, namanya tidak langsung ABKIN. Sehingga
dinamika pembentukan ini adalah hal yang biasa. Dan ke depan bisa saja
berkembang dan berubah.
Kemudian
pada siangnya jam 14.00 sampai 17.00, dilanjutkan FGD terkait dengan penetapan
asosiasi Profesi. Dalam FGD kedua ini, dibagi dalam tiga kelompok kecil, yakni
kelompok penetapan Asosiasi, kelompok KKNI, dan kelompok pengembangan dosen.
Yang paling alot adalah kelompok FGD Asosiasi. Pada FGD kedua di kelompok
Asosiasi ini, saya diplot untuk memimpin diskusi. Maka, segera saya menuju ke
kertas plano yang telah disediakan, dan membuka diskusi dengan langsung
menyerap beberapa usulan nama. Diperolehlah 5 nama (Asosiasi, Ikatan, dll)
ASBIKI, IBKI, ABKII, Islamic Guidance and Counseling Association). Intinya kita
menggali kembali terkait konsep nama, produk yang dihasilkan, struktur
kepengurusan dan alur kerja dari asosiasi ini. Sementara menghasilkan bahwa.
Nama asosiasi adalah ABKI (Asosiasi Bimbingan Konseling Islam). Kemudian
struktur pengurus diambil dari usulan para peserta yang hadir, dengan
pengklasifikasian, pengurus pusat, wilayah dan harian. Sedangkan produk yang
dihasilkan adalah Kartu Anggota, sertifikat profesi, sekolah pendidikan
profesi, jurnal dan kurikulum untuk semua prodi. Semuanya tersebut dibahas
secara ringkas dan padat hingga menjelang magrib.
FGD
dilanjutkan pada jam 19.00-24.00, dengan kembali mempresentasikan hasil FGD
pada siang harinya. Akhirnya ketiga kelompok tersebut mempresentasikan
satu-satu. Begitupun saya, dengan tidak lupa meminta maaf pada hadirin yang
perwakilan BPI, bahjwa tim kecil, telah menetapkan nama ABKI tanpa pake P, dan
mohon disepakati bersama. Ternyata di luar dugaan para hadirin pada saat itu
sangat setuju sekali dengan nama ABKI yang telah kita sepakati. Hingga sampai
pada penjelasan akhir produk dan langkah-langkah strategis yang harus dilakukan
nantinya, pasca pendeklarasian ini. Akhirnya apa yang didiskusikan pada siang
harinya tersebut, bisa diterima. Dan selanjutnya dilanjutkan dengan pemilihan
ketua dan pengurus. Dengan mengisi blanko usulan nama dari para hadirin untuk
memilih pengurus pusat, harian dan wilayah. Maka kemudian blanko yang terkumpul
tersebut, dikategorikan. Terpilihlah ketua umum presidium Bapak Dr. Aep
Kusnawan dari UIN Sunang Gunung Djati Bandung, dan Sekjen pertama adalah Bapak
Dr. Agus Santoso, M.Pd. serta pengurus-pengurus lainnya (Data lengkap di
halaman lain).
Selanjutnya
dibacakan susunan pengurus yang telah digodok oleh tim. Dan kita semua sepakat
dengan senyum dan tawa mengembang di semua hadirin, karena ini memang sudah
lama sekali diimpikan kita bersama. Tidak lupa foto-foto bersama dengan
semuanya. Selanjutnya pada jam 23.00 dilanjutkan dengan penutupan, ibu Dekan
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UINSA dan Prof. Yahya, serta Ketua ABKI diminta
duduk dipodium untuk menyampaikan sepatah dua patah kata. Semuanya mendapat
giliran bicara, hingga jam 24.00, acara resmi ditutup. Pesan Ibu Dekan bahwa penetapan
langkah-langkah selanjutnya untuk merealisasikan deklarasi Asosiasi Profesi BKI
ini sampai memperoleh pengakuan dan legalitas formal. Serta diserahi tugas
mendesain dan melakukan pembimbingan dan sertifikasi bimbingan haji pada tahun
2017 di Surabaya. Setelah penutupan, kemudian kita masih berada di ruangan
untuk melakukan sesi foto bersama, serta saling bersalaman dan berpamitan. Baru
jam 01.00 kita kembali ke kamar masing-masing.
Keesokan
harinya, kita masih bisa bersua di ruang makan dan bersama-sama kembali untuk
berbincang-bincang tentang banyak hal. Setelah makan, ada yang langsung check
out ada yang jalan-jalan ke Suramadu, saya sendiri bertemu dengan kawan lama
dari masa SLTA dulu, yang udah 24 tahun tidak bertemu. Baru jam 10.00 saya check out diantar temanku ke Terminal,
karena tujuan berikutnya adalah kota Reog Ponorogo.
By. A Said Hasan Basri
UINSA 13-15 Oktober 2016





Tidak ada komentar:
Posting Komentar